MAKALAH TENTANG
TRANSGENDER DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA
NAMA : ANTONIUS FEBRIANTO
NIM : 1317 – 02 – 023
JURUSAN : DHARMA ACARIYA
ASAL DAERAH : SINGKAWANG
SEMESTER II /2 (DUA)
TAHUN AKADEMIK 2013 – 2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat-Nya akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat
pada waktunya.
Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih kepada dosen pembimbing dan mereka yang telah banyak berperan dalam
proses pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, itu
dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat
bantuan, dorongan dan bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca serta semoga
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan
meningkatkan prestasi di masa yang akan datang.
Singkawang,
14 Juli 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Belakang
Seiring berkembangnya dunia modern,
manusia terus semakin berkembang. Dalam perkembangannya tersebut, banyak
faktor-faktor yang sangat berpengaruh. Pengaruh tersebut dimulai dari keluarga,
pendidikan hingga faktor lingkungan dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Pengaruh-pengaruh tersebutlah yang dapat mengakibatkan individu melakukan
segala perubahan-perubahan perilaku. Perubahan tersebut diharapkan mampu
membawa hal-hal untuk kemajuan yang lebih baik.
Tidak dapat dimungkiri bahwa
perkembangan pola pikir manusia dalam dunia modern membawa dampak positif,
disamping juga berdampak pada penyimpangan yang mungkin terjadi. Perilaku menyimpang
(abnormal) merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan
atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu
maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial. Dalam kehidupan
masyarakat, semua tindakan manusia dibatasi oleh aturan (norma) untuk berbuat
dan berperilaku sesuai dengan sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat. Namun
demikian, di tengah kehidupan masyarakat penyimpangan terhadap norma-norma atau
nilai-nilai masyarakat disebut deviasi (deviation), sedangkan pelaku atau
individu yang melakukan penyimpangan disebut devian (deviant).
Perilaku menyimpang tersebut dapat
diakibatkan oleh lingkungan sosial yang tidak menguntungkan atau dari
pengalaman belajar yang tidak benar. Perilaku menyimpang salah satunya adalah
gangguan identitas gender. Gangguan identitas gender yang sekarang ini banyak
terlihat di tengah-tengah masyarakat adalah transgender.
Dalam pandangan agama Buddha belum
ada penjelasan secara rinci. Berdasarkan sumber-sumber yang dapat dijadikan
sebagai dasar yang akurat mengenai transgender. Pada dasarnya Buddha-Dhamma dijelaskan
bahwa tidak pernah menganjurkan untuk mengucilkan apalagi melenyapkan
keberadaan manusia yang melakukan transgender. Hal tersebut dapat dilihat dari
Kitap Suci Abhidhamma untuk mengkaji tentang kamma-kamma yang
bersesuaian danSutta-Sutta di dalam kitap suci agama Buddha yang
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan.
2.
Rumusan
Masalah
Bagaimana agama Buddha memandang
transgender?
3.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah atas,
selain bertujuan untuk melengkapi tugas mata kuliah Agama Buddha dan
Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi penulis bertujuan untuk mengkaji tentang:
1. Mengetahui
transgender secara umum.
2. Menjelaskan
pandangan kepercayaan lain terhadap transgender secara singkat.
3. Menjelaskan
pandangan agama Buddha terhadap transgender.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Transgender Secara Umum
Sebelum membahas tentang transgender
secara lebih dalam beberapa para ahli mendefinisikan gender sebagai perbedaan
peran, kedudukan dan sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki maupun perempuan
melaui konstruksi secara sosial maupun kultural (Nurhaeni, 2009). Sedangkan
menurut Oakley (1972) dalam Fakih (1999), gender adalah perbedaan perilaku
antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial, yakni
perbedaan yang bukan kodrat dan bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh
manusia melalui proses sosial dan kultural. Lebih lanjut dikemukakan oleh
Haspels dan Suriyasarn (2005), gender adalah sebuah variabel sosial untuk
menganalisa perbedaan laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan peran,
tanggung jawab dan kebutuhan serta peluang dan hambatan.
Studi gender lebih menekankan pada
aspek maskulinitas atau feminitas seseorang. Berbeda dengan studi sex yang
lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh
laki-laki dan perempuan. Proses pertumbuhan anak menjadi seorang laki-laki atau
menjadi seorang perempuan, lebih banyak digunakan istilah gender dari pada
istilah sex. Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan
reproduksi dan aktivitas seksual, selebihnya digunakan istilah gender.
Transeksual adalah orang yang
identitas gendernya berlawanan dengan jenis kelaminya secara biologis. Mereka
merasa terperangkap ditubuh yang salah misalnya kasus reynaldi tersebut yang
terlahir sebagai laki-laki tapi merasa bahwa dirinya wanita. Transeksual lah
yang dapat menimbulkan perilaku homo atau lesbian, namun perilaku ini tidak
dapat disamakan dengan homo atau lesbian. Bisa saja pria transeksual tertarik
dengan pria lain karena merasa bahwa dia seorang wanita.
Transgender adalah orang yang cara
berperilaku atau penampilanya tidak sesuai dengan peran gender pada umumnya.
Transgender adalah orang yang dalam berbagai level “melanggar” norma kultural
mengenai bagaimana seharusnya pria dan wanita itu. Seorang wanita, misalnya
secara kultural dituntut untuk lebih lembut. Kalau pria yang berkarakter
demikian, itu namanya transgender. Orang-orang yang lahir dengan alat kelamin
luar yang merupakan kombinasi pria-wanita juga termasuk transgender.
Transgender ada pula yang mengenakan pakaina lawan jenisnya, baik sekali maupun
rutin. Perilaku transgenderlah yang mungkin membuat beberapa orang mengganti
jenis kelaminya, seperti pria menjadi wanita begitu pula sebaliknya.
Kebanyakan orang mendefinisikan
bahwa transgender dan transeksual merupakan dua hal yang sama, akan tetapi hal
tersebut merupakan dua hal yang berbeda meskipun merujuk pada satu perubahan
baik secara mental maupun gender itu sendiri.
Dalam dunia kedokteran modern
dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu:
1)
Operasi penggantian jenis kelamin,
yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal.
2)
Operasi perbaikan atau penyempurnaan
kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin,
seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.
3)
Operasi pembuangan salah satu dari
kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua
organ/jenis kelamin (penis dan vagina).
2.
Pandangan
Transgender dalam Kepercayaan Lain
Dalam pandangan agama Hindu, waria
atau homoseksual masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Beberapa kalangan
Hindu manganggap bahwa homoseksual merupakan perbuatan yang tidak menyalahi
kehidupan agama. Hal ini didasarkan pada tidak pernah ditemukannya satu ayat
pun dalam teks-teks suci Hindu yang melarang adanya homoseksual. Kontras,
beberapa kalangan Hindu lainnya menganggap bahwa cinta yang sesungguhnya
hanyalah pria dan wanita, sedangkan cinta antara sesama jenis hanyalah sebatas
pemuasan nafsu belaka sehingga dianggap salah.
Dalam petikan ayat tersebut
dijelaskan bahwa manusia yang beriman sesungguhnya telah diciptakan dengan
pasangannya masing-masing. Sebagaimana seharusnya laki-laki berpasangan dengan
wanita. Selain hal itu perubahan jenis kelamin apabila tidak terjadi secara
alamiah pun telah menyalahi kehendak Tuhan.
Tidak hanya agama Islam yang
melarang adanya hubungan sesama jenis, namun dalam agama kristen, terdapat juga
larangan mengenai hubungan sesama jenis. Hal in diperkuat dengan adanya
beberapa ayat didalam Alkitab yang menyebutkan bahwa homoseksualitas adalah dosa
dan kekejian di mata Allah.
3.
Pandangan
Agama Buddha Terhadap Transgender
Wadam dalam bahasa pali
disebut pandaka. Wadam adalah laki-laki yang bertingkah laku dan
berpakaian sebagai perempuan. Bila ditinjau dari tumimbal lahir (patisandhi),
wadam dilahirkan dengan kesadaran yang bernama ‘Upekkhasantirana
Kusalavipaka-Citta. Hal ini dapat terjadi sebagai hasil dari perbuatan
jahatnya yang pernah dilakukannya dalam kehidupan yang lampau. Tidak sedikit
wadam yang merasa tertekan batinnya, karena mereka tidak merasa bebas bergerak
dengan adanya ‘kelainan’ dalam dirinya. Dan bila menghadapi masyarakat, mereka
sering memperoleh ejekan yang menyakiti hati.
Kaum wadam sebagian besar sering
mengalami tekanan batin dan tidak mempunyai kebebasan dalam pergaulan, maka
tidak ada salahnya kaum wadam itu melakukan operasi penukaran kelamin. Hal ini
tidak bertentangan dengan vinaya (sila), karena operasi
penukaran kelamin itu dilakukan untuk membebaskan dirinya dari tekanan batin
dan tidak merugikan makhluk lainnya.
Terlahir memiliki badan jasmani
manusia merupakan kamma baik yang sangat besar. Bila dilihat dari kamma adanya
perilaku menyimpang dalam kehidupan secara kultural dalam artian menjadi wadam
merupakan buah kamma (vipaka) dari kehidupan masa lalu.
Hal ini disebabkan karena pelanggaran sila ke-3 Pancasila
Buddhis yaitu melakukan perbuatan memuaskan nafsu secara salah (kamesumicchacara).
Kesenangan indera kulit yang
dirasakan melalui sentuhan dalam konteks kamesumicchacara diartikan
sebagai hubungankelamin. Oleh karena pemuasan indria kulit melalui sentuhan
secara salah membawa akibatyang merugikan diri sendiri maupun orang lain dan
mengganggu ketentraman masyarakat.
Kamesumicchacara telah
terjadi bila terdapat empat faktor yang terdiri dari:
1)
Orang yang tidak patut untu
disetubuhi (agamantavatthu).
2)
Mempunyai niat untuk menyetubuhi orang
tersebut (tasmim sevacittam).
3)
Melakukan usaha untuk menyetubuhinya
(sevanappayogo).
4)
Berhasil menyetubuhi (meggena
maggapatipatti adhivasenam).
Pada masa kehidupan Buddha Gautama
terdapat kisah seorang umat awam yang berganti jenis kelamin. Kisah ini dapat
dijadikan bahan pertimbangan bahwa pikiran memberikan pengaruh yang sangat
besar. Hal ini sesuai sabda Sang Buddha seperti berikut:
“Bukan
dengan pertolongan ibu, ayah, ataupun sanak keluarga; namun pikiran yang
diarahkan dengan baik yang akan membantu dan mengangkat derajat seseorang.”
Syair Dhammapada di
atas dibabarkan oleh Sang Buddha berdasarkan kisah berikut ini:
Pemuda Soreyya yang melihat
Mahakaccayana Thera sedang mengatur jubah pinggirnya, ketika akan berpindapatta. Pemuda
Soreyya yang mengagumi keindahan dari Mahakaccayana Thera dan berfikir:
seandainya menjadi istriku, atau bagaimana apabila warna kulit istriku seperti
itu".
Karena muncul keinginan seperti itu,
kelaminnya berubah menjadi seorang wanita.
Setelah mendengar saran dari pemuda
untuk meminta maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera diundang ke
rumah perempuan Soreyya dan menerima dana makanan darinya. Sesudah bersantap,
perempuan Soreyya dibawa menghadap Mahakaccayana Thera, dan laki-laki dari kota
Soreyya berbicara kepada Mahakaccayana Thera bahwa perempuan ini pada waktu
dulu adalah seorang anak laki-laki orang kaya di kota Soreyya. Ia kemudian
menjelaskan kepada Mahakaccayana Thera bagaimana Soreyya menjadi perempuan
karena berpikiran jelek pada saat menghormati Mahakaccayana Thera. Perempuan
Soreyya dengan hormat meminta maaf kepada Mahakaccayana Thera.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dalam pandangan Agama Buddha
meskipun tidak dilarang secara jelas hendaknya transgender dapat dilihat
sebagai makna positif bahwa perbuatan-perbuatan di masa lampau mempengaruhi
kelahiran yang akan datang. Transgender dipandang sebagai buah dari perbuatan (vipaka)
pelanggaran sila ke-3 Pancasila Buddhis.
2.
Saran
Setelah mempelajari materi pandangan
agama Buddha terhadap transgender diharapkan pembaca memperoleh pemahaman agar
terhindar dari perbuatan yang melanggar sila salah satunya menghindari pemuasan
nafsu yang salah (kamesumicchacara). Hal tersebut merupakan
perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun mengganggu ketenteraman
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour. 1999. Analisis
Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Haspels,
Nelien dan Busakorn Suriyasarn. 2005. Meningkatkan Kesetaraan Gender
Dalam Aksi Penanggulangan Pekerja Anak Serta Perdagangan Perempuan dan Anak,Jakarta:
Kantor Perburuhan Internasional.
Jotidhammo.
1997. Dhammapada Atthakatha — Kisah-kisah Dhammapada. Yogyakarta: Vidyasena
Vihara Vidyaloka.
Nurhaeni,
Ismi Dwi Astuti. 2009. Kebijakan Publik Pro Gender. Surakarta. UPT
Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar