HUKUM KARMA
Nama : Antonius Febrianto
NIM : 1317-02-023
Jurusan : Dharma Acariya
Mata
Kuliah : Abhidamma Pitaka
Asal
Daerah : Singkawang
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya akhirnya makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan
makalah yang berjudul “HUKUM KARMA” ini, bertujuan untuk memberikan informasi mengenai Hukum Karma serta permasalahan- permasalahannya agar pembaca
mengetahui lebih dalam tentang Hukum Karma.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing dan mereka
yang telah banyak berperan dalam proses pembuatan makalah ini .
Penulis menyadari banyak
kekurangan dalam pembuatan makalah ini, itu dikarenakan
kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan, dorongan dan bimbingan
serta bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan
makalah ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Penulis berharap dengan
penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis sendiri dan bagi para pembaca serta semoga dapat
menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa yang akan datang.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER
DEPAN I
KATA
PENGANTAR II
DAFTAR
ISI III
BABI PENDAHULUAN 1
A. Latar
Belakang 1
B.
Tujuan 1
C.
Manfaat 1
D.
Metode Penulisan 1
BAB
II PEMBAHASAN 1
A. Hukum
Karma 1
B.
Fungsi Hukum Karma 1
C.
Ajaran Hukum Karma Menurut Kitab
Tipitaka Suci 1
D.
Penggolongan Hukum Karma 1
BAB
III PENUTUP 1
A. Kesimpulan 1
B. Saran 1
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Tujuan
C. Manfaat
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Karma
Hukum Karma adalah salah satu ajaran yang
penting dalam agama Buddha. Hukum karma merupakan ajaran yang amat dalam dan
rumit, maka untuk itu dibutuhkan suatu uraian yang terperinci untuk memahaminya.
Secara umum, Karma berarti perbuatan. Umat
Buddha memandang hukum karma sebagai hukum kosmis tentang sebab dan akibat yang
juga merupakan hukum moral yang impersonal. Menurut hukum ini sesuatu (yang
hidup maupun yang tidak hidup) yang muncul pasti ada sebabnya. Tidak ada
sesuatu yang muncul dari ketidakadaan. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu atau
makhluk yang muncul tanpa ada sebab lebih dahulu. Kita berbicara tentang akibat
bila sesuatu itu terjadi tergantung pada kejadian yang mendahuluinya dan
kejadian mula yang menghasilkan kejadian berikutnya disebut ‘sebab’.
Rumusan agama Buddha tentang sebab akibat
(Paticcasamuppada ) adalah :
“ Dengan adanya ini, terjadilah itu. Dengan
timbulnya ini, timbulah itu. Dengan tidak adanya ini, maka tidak ada itu.
Dengan lenyapnya ini, maka lenyaplah itu. “
(Khuddhaka Nikaya, Udana 40).
Pernyataan ini merupakan teori relativitas
yang digunakan pula untuk menerangkan tentang munculnya alam semesta. Ajaran
agama Buddha menekankan keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yang
Agung, Mulia, Suci, Mutlak dan Impersonal. Sedangkan kemahakuasaan Tuhan dalam
dhamma dijabarkan dalam hukum universal sebab akibat atau hukum relativitas
yang Impersonal. Hukum karma termasuk dalam hukum sebab akibat universal ini.
Tentang alam semesta terjadi karena adanya hukum relativitas. Hukum ini
meliputi seluruh semesta alam dan hukum ini bekerja dengan sendirinya. Menurut
hukum ini alam semesta adalah dinamis atau selalu berubah dan setiap perubahan
selalu terjadi secara relatif. Ada perubahan yang berlangsung dengan cepat
tetapi ada juga perubahan yang berlangsung dengan perlahan, sehingga perubahan
yang perlahan ini tidak nampak atau sulit dimengerti oleh orang yang kurang
waspada dan cermat. Contoh cara kerja hukum ini, adanya suatu keadaan
disebabkan oleh suatu keadaan lain dan keadaan ini pun disebabkan oleh keadaan
lain pula, begitu seterusnya. Cara kerja hukum ini mirip dengan hukum ilmu
pengetahuan tentang aksi dan reaksi.
Hukum karma dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu
aspek kosmis dan aspek moral. Hukum karma adlam aspek kosmis meliputi alam
fisik dan psikis. Dipandang dari sisi kosmis, makhluk – makhluk hidup seperti
manusia dan binatang adalah fenomena materi. Keberadaan manusia dan binatang
adalah fenomena relatif karena mereka ada disebabkan adanya hal – hal lain
seperti adanya makanan, minuman, matahari, dunia dan sebagainya. Mereka
mengalami perubahan, muncul dan lenyap, seperti semua hal di dunia. Dunia pun
akan mengalami proses perubahan, muncul dan lenyap. Demikian pula dengan alam
semesta yang berisi banyak galaksi serta tata surya yang tidak terhitung
banyaknya selalu berproses, muncul dan lenyap.
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa
walaupun aspek kosmis dari hukum karma Buddhis berlangsug demikian, tetapi itu
hanya merupakan implikasi dari konsepnya sebagai hukum sebab dan akibat. Yang
sangat penting dari hukum ini adalah aspek kedua yang merupakan hukum moral.
Dalam aspek ini hukum karma memegang peranan yang penting dalam ajaran etika
Buddhis. Ajaran etika Buddhis tercermin dengan jelas dalam semua ajaran yang
disampaikan oleh Sang Buddha selama hidup beliau.
Ajaran karma Buddhis sebagai hukum moral
menitikberatkan pada perbuatan – perbuatan manusia yang dilakukan melalui
perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran. Perbuatan – perbuatan itu
diklasifikasikan sebagai karma bila suatu perbuatan dilakukan karena adanya
niat atau kehendak ( Cetana ). Suatu perbuatan tanpa niat atau kehendak tidak
dapat disebut karma karena perbuatan itu tidak akan menghasilkan akibat moral bagi
pembuatnya. Niat atau kehendak yang dimaksudkan dengan karma, seperti yang dikatakan
Sang Buddha dalam Angutara Nikaya III :
“O para bhikkhu, kehendak yang saya maksudkan
dengan karma. Seseorang karena memiliki kehendak dalam pikirannya maka ia
melakukan perbuatan dengan jasmani, ucapan dan pikiran”
Karma atau perbuatan dalam aspek moral
mencakup nilai – nilai etika tentang baik dan buruk. Hal ini merupakan konsep
yang lebih luas daripada persoalan tentang benar dan salah bila dilihat dari
sisi pandangan sehari hari tentang makna dari kata itu. Apa yang dianggap benar
menurut pandangan umum
Mungkin tidak baik dalam pengertian moral,
demikian pula dengan kata buruk. Misalnya menurut pandangan umum adalah benar
bila tentara membunuh musuh dalam pertempuran. Tetapi pembunuhan ini tidak
benar menurut hukum moral. Menurut pandangan moral Buddhis suatu pembunuhan
adalah pelanggaran hukum moral, pembunuhan ini dipandang sebagai perbuatan
karma buruk. Ajaran agama Buddha menganjurkan kita untuk mengembangkan perasaan
cinta kasih (metta) dan kasih sayang (karuna) terhadap semua makhluk. Anjuran
ini meliputi perasaan memusuhi makhluk hidup harus dilenyapkan.
Prinsip dasar dari hukum karma adalah barang
siapa yang menanam maka dia yang akan memetik hasilnya apakah hasil itu baik
atau buruk. Perbuatan baik atau buruk dinilai berdasarkan pada akibat yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan yang dialami oleh pembuat. Seseorang yang
telah melakukan karma buruk pasti menderita karena menerima hasil perbuatannya
sendiri. Kita tidak mungkin menghindarkan diri dari akibat yang tidak
menyenangkan yang dihasilkan oleh karma buruk yang telah kita lakukan.
Sehubungan dengan hal ini Sang Buddha berkata :
“ Tidak di angkasa, di tengah lautan ataupun
di dalam gua – gua gunung, tidak dimanapun seseorang dapat menyembunyikan
dirinya dari akibat perbuatan – perbuatan jahatnya “
( Dhammapada 127 )
Dalam aspek moral karma merupakan ajaran
kembar dengan kelahiran kembali. Menurut hukum sebab akibat ini, seseorang
adalah hasil perbuatannya sendiri. Ia sendiri yang menyebabkan keberadaanya dan
ia sendiri yang bertanggung jawab untuk masa depannya. Pada kelahiran yang
lampau pun seseorang telah menyatakan kehendak melalui perbuatan jasmani,
ucapan atau pikiran, maka berdasarkan pada perbuatan – perbuatannya itu
sekarang ia hidup. Kondisi dan lingkungan tempat kelahiran seseorang ditentukan
oleh karma dari kehidupannya yang lampau.
Pada kehidupan sekarang ini, seseorang
menerima hasil sebagai akibat karmanya yang lampau dan melakukan karma karma
yang baru. Karma baru dan karma lampau yang belum berbuah akan membentuk kondisi
tempat kelahirannya pada masa kehidupan yang berikut. Setiap oang memiliki
kebebasan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Bila pada kehidupan ini
seseorang telah melakukan perbuatan buruk dan ia menyadari bahwa perbuatannya
itu adalah buruk serta akan menghasilkan akibat yang tidak menyenangkan, maka
agar akibat karma buruk itu tidak terlalu berat atau tidak efektif ia harus
melakukan banyak perbuatan baik.
Untuk memperjelas hal ini, misalnya disebuah
desa ada seorang yang bernama A. A mencuri Rp 1000 dari si B, tetapi sebelum B
mengetahui A yang mencuri, A yang menyadari bahwa perbuatannya adalah salah,
merasa takut bila perbuatannya ketahuan maka ia pindah ke kota. Di kota, A
bekerja dengan rajin dan berusaha dengan sungguh – sungguh sehingga setelah
beberapa tahun ia menjadi kaya. Dengan kekayaan ini A melakukan banyak
perbuatan baik dengan berdana kepada orang orang yang membutuhkan di sekitarnya
maupun yang jauh. Tetapi tidak lama setelah A meninggalkan desanya, B
mengetahui bahwa A adalah orang yang mencuri uangnya. Beberapa tahun kemudian B
mengetahui dimana A berada. B mendatangi orang orang di sekitar tempat A dan
memberitahukan kepada orang – orang bahwa A adalah seorang maling, karena A
telah mencuri Rp 1000 darinya. Namun orang orang di kota itu tidak
memperdulikan kata kata B, malahan orang – orang itu membela A.
Dari contoh diatas kita lihat bahwa karma
buruk tetap berbuah, tetapi akibatnya tidak berat atau tidak efektif sama
sekali karena perbuatan baik yang dilakukan manfaatnya besar sekali. Dengan ini
dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan dan penderitaan tergantung pada diri kita
sendiri.
B.
Fungsi Hukum Karma
Agama Buddha memandang hukum karma sebagai
hukum sebab akibat yang bekerja sendiri. Sebab yang baik menghasilkan akibat
yang baik, sedangkan sebab yang buruk menghasilkan akibat yang buruk atau tidak
menyenangkan. Berdasarkan pada hukum ini maka tidak ada manusia, dewa maupun
kekuatan mistik yang mencampuri karma seseorang. Hukum ini bekerja secara adil
dengan caranya sendiri. Sebagai hukum yang impersonal maka tidak ada seorang
pun yang dapat merubah hukum ini sekehendak hatinya.
Fungsi hukum karma adalah amat rumit dan
dalam sekali. Hal ini yang menyebabkan orang yang tak sabar, tak cermat dan
kurang pengetahuan salah mengerti tentang cara kerja dari hukum karma. Tetapi
jika kita sabar dan berusaha mempelajari hukum ini dengan hati – hati dan
cermat, maka kita akan dapat memahami cara kerja hukum karma ini.
Perbedaan jenis jenis karma dapat
dibandingkan dengan buah buahan yang bermacam macam. Seperti jenis buah buahan
yang bermacam macam membutuhkan waktu yang berbeda beda untuk matang, demikian
pula karma yang bermacam macam membutuhkan waktu yang berbeda beda untuk
menghasilkan akibatnya. Setiap jenis pohon memiliki waktu tertentu untuk
berbuah. Jika seseorang yang tak sabar ingin cepat cepat memuaskan keinginannya
dengan berusaha memeras sari buah dari buah mangga muda maka usahanya akan sia
– sia.
Demikian pula dengan akibat dari karma,
setiap macam karma memiliki waktu tertentu untuk matang sesuai dengan sifatnya.
Ada karma yang matang dan menghasilkan buah lebih cepat daripada karma yang
lain. Jika kita mencampur adukan karma yang waktu matangnya lambat dengan karma
yang waktu matangnya cepat maka kita akan kecewa, kekecewaan kita ini terjadi
bukan karena kesalahan hukum karma tetapi disebabkan oleh kebodohan kita
sendiri. Bilamana kita berusaha mempelajari hukum karma secara hati hati dan
seksama, kita dapat melihat bahwa banyak perbuatan yang telah dilakukan sudah
menghasilkan buahnya pada kehidupan sekarang ini. Contoh : Seseorang yang
menyerang atau melukai orang lain kemungkinan besar ia akan segera diserang
atau dilukai pula, atau barangsiapa yang menghina atau mencaci maki orang lain,
ia sendiri mungkin akan dihina atau dimaki pada saat itu pula. Jenis perbuatan
ini termasuk dalam karma yang waktu matangnya cepat. Tetapi contoh ini tidak
dapat menerangkan semua cara kerja hukum karma sebab masih banyak macam karma
yang menurut sifatnya adalah karma yang waktu matangnya lambat.
Buddha Dhamma menekankan bahwa ada bermacam
macam karma yang akibatnya akan berhubungan dengan lebih dari satu atau banyak
kehidupan dari pembuat. Karma seperti ini akan di uraikan di bawah.
Berdasarkan pada hukum karma kita sebagai
manusia yang masih diliputi kebodohan telah memiliki sejumlah perbuatan baik
dan buruk. Kehidupan kita sekarang merupakan ladang tempat perbuatan –
perbuatan yang lampau berbuah dan perbuatan – perbuatan baru dilakukan. Dalam
hal ini perbuatan yang lampau adalah perbuatan – perbuatan atau karma karma
yang lampau pada beberapa saat yang lalu hingga pada masa kehidupan – kehidupan
dalam kelahiran kelahiran yang lampau. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hukum karma selalu bekerja selama kita belum mencapai pembebasan, nibbana.
Dalam pelaksanaan hukum karma nampaknya
menimbulkan pertanyaan yang sering dipersoalkan. Kalau akibat akibat baik dan
buruk selalu sesuai dengan perbuatan – perbuatan baik atau buruk, lalu mengapa
orang yang baik nampak melarat atau menderita dalam kehidupan mereka, sedangkan
orang – orang yang jahat nampak sukses dan bahagia dalam hidup mereka ? Dalam
hal ini nampaknya hukum karma tidak adil dalam pelaksanaannya. Persoalan ini
amat rumit, maka agar kita dapat mengerti cara kerja dari hukum karma dengan
baik, kita memerlukan suatu analisis yang seksama tentang persoalan ini.
Karena karma berfungsi dengan cara yang rumit
dan nampaknya misterius, maka selalu ada kemungkinan bagi kita yang belum
sempurna menjadi bingung untuk mengetahui atau mengerti cara kerja dari hukum
karma. Sekali pebuatan atau karma dilakukan, itu menjadi suatu kekuatan yang
tak terlihat yang cepat atau lambat akan menghasilkan akibatnya. Bilamana
setiap perbuatan yang dilakukan seseorang akan menghasilkan akibatnya, maka hal
ini terjadi hampir diluar batas kemampuan pengertian kita. Dalam beberapa kasus
ada akibat yang dipetik segera setelah suatu perbuatan dilakukan, tetapi masih
banyak hal lain dimana suatu perbuatan yang telah dilakukan tidak segera
menghasilkan akibat. Hal ini terjadi sebab ada beberapa faktor yang mencegah
akibat dari suatu karma tertentu untuk muncul.
Bagaimanapun rumitnya fungsi karma hal ini
terjadi karena sifat dari karma itu sendiri dan sebagian karena rumitnya
perbuatan – perbuatan kita sehari hari. Dalam sehari seseorang dapat melakukan
bermacam macam perbuatan yang baik maupun yang buruk melalui jasmani, ucapan
atau pikiran, sehingga hampir tidak mungkin bagi pelakunya untuk mengingat
semua apa yang telah ia lakukan dalam sehari itu. Jadi adalah wajar bila ia
bingung sebab ia tak dapat menghubungkan satu kejadian lanjutan yang disebut
akibat dengan kejadian sebelumnya yang disebut sebab. Pada umumnya hal ini
terjadi karena ketika akibat itu muncul, sebabnya telah dilupakan. Beberapa
macam karma yang telah dilakukan dalam sehari dapat menghasilkan akibat dalam
jangka waktu yang pendek dan pada jangka waktu yang panjang. Hampir diluar
batas kemampuan kita untuk mengetahui perbuatan kita manakah yang berjangka
waktu pendek dan yang berjangka waktu panjang. Dikatakan bahwa kemampuan untuk
mengetahui sifat dan fungsi dari hukum karma hanya dimiliki oleh para Buddha.
Namun, jika kita mencoba dengan seksama dan sabar menyelidiki cara kerja hukum
karma maka kita akan memahami sebagian dari cara kerjanya.
Untuk mengerti dengan baik tentang potensi
karma adalah perlu bagi kita untuk mempelajari cara karma menghasilkan akibat
akibatnya, baik dalam aspek luar atau jasmaniah dan aspek dalam atau batiniah.
Jika kita hanya melihat akibat karma pada satu aspek saja maka hal ini akan
menyebabkan kita salah mengerti akan hukum ini. Sebagai contoh : jika seorang
pegawai melakukan korupsi, ia akan mendapat lebih banyak uang daripada gajinya
untuk sebulan. Kalau ia sering berbuat korupsi dalam jangka waktu yang pendek
ia akan menjadi lebih kaya, karena ada uang hasil dari korupsi, ia nampaknya
memiliki tingkat kehidupan yang lebih baik daripada teman temannya di
perusahaan. Orang lain mungkin mengetahui bahwa ia koruptor, tetapi selama
tidak ada orang memeriksanya karena tidak ada bukti, maka ia akan tetap
menikmati uang yang ia korupsi. Juga bilamana ia orang yang berpengaruh dan
kuat maka tidak ada orang yang berani memeriksanya, sehingga ia akan menikmati
kekayaannya itu sampai akhir hayatnya.
Contoh diatas tidak sulit untuk dilihat pada
masa sekarang ini. Hal ini merupakan salah satu kasus yang meragukan bagi
mereka yang percaya pada hukum karma. Nampaknya orang yang berbuat kejahatan
itu tidak disentuh oleh hukum karma. Secara teoritis orang ini harus mendapat
ganjaran sebagai akibat perbuatan jahatnya, tetapi bahkan mendapatkan
kebahagiaan dan kemakmuran yang seperti ia nikmati sekarang.
Berkenaan dengan akibat – akibat karma, Sang
Buddha berkata :
Pembuat kejahatan akan menganggap kejahatan
sebagai kebaikan selama perbuatan itu belum matang. Tetapi bila perbuatan itu
menghasilkan akibat, maka ia menyadari bahwa sesungguhnya kejahatan adalah
berbahaya. Orang yang bajik pun akan menganggap kebaikan sebagai kejahatan
selama perbuatan itu belum matang, tetapi bilamana perbuatan itu menghasilkan
akibat, maka ia menyadari bahwa sesungguhnya kebaikan itu baik.
( Dhammapada 119 – 120 )
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan
bahwa kesalahpahaman tentang fungsi hukum karma telah ada pada masa Sang
Buddha. Suatu hal yang wajar bila kita melihat hukum karma dari sisi sifatnya
kita yang tak sabar dan tak cermat maka persoalan ini nampaknya rumit dan
misterius dan akibatnya kepercayaan kita pada hukum karma berkurang.
Tetapi bila kita cukup sabar dengan tenang
dan cermat memperhatikan contoh itu, kita akan dapat menembus sesuatu dari
kemisteriusan cara kerja hukum karma dan akhirnya keyakinan kita akan bertambah
karena keyakinan kita tidak salah.
Dalam contoh diatas, ketika orang tersebut
melakukan korupsi untuk mendapt uang, ia mendapat banyak uang. Jelas bahwa bila
ia berusaha mendapat banyak uang, maka akibatnya ia mendapat banyak uang, tidak
perduli apakah cara itu baik atau buruk. Ini adalah sifat luar atau aspek
jasmaniah dari aspek akibat hukum karma. Tapi bila kita melihat persoalan dari
contoh diatas sisi aspek dalam atau aspek spiritual dari hukum karma, maka
kesalah pengertian tentang hukum karma dapat dilenyapkan. Menurut pandangan
agama Buddha, bila suatu karma sedang menghasilkan akibatnya, maka karma lain
yang potensinya sama atau lebih kurang daripada karma itu tidak mendapat
kesempatan untuk berbuah. Tetapi bila karma yang sedang berbuah itu menjadi
lemah atau telah selesai berbuah, barulah karma yang lain mendapat kesempatan
untuk berproses. Jika ada karma sekarang atau karma baru yang dikategorikan
kuat muncul, maka karma yang sedang berproses saat ini akan tertekan dan karma
baru yang lebih kuat akan berfungsi.
Menurut hukum karma kehidupan kita sekarang
adalah ekspresi dari karma karma kita yang lampau. Dalam kasus dari orang yang
korupsi yang sedang menikmati kebahagiaan dari mata pencahariannya yang tidak
jujur, satu satunya jawaban untuk ini adalah bahwa hasil karma baiknya yang
lampau sedang berbuah dan karma buruk yang diperbuatnya sekarang sedang
menunggu waktu yang tepat untuk berbuah. Bagaimanapun karma buruknya akan
selalu mengikuti dia kemana saja ia pergi atau terlahir kembali, bagaikan roda
pedati yang mengikuti jejak sapi yang menariknya. Sekali sebuah perbuatan
dilakukan dengan sadar ( ada niat ). Maka perbuatan itu telah memiliki suatu
kekuatan yang tak terlihat dan kekuatan perbuatan ini tidak akan lenyap selama
kekuatannya belum habis karena menghasilkan akibatnya. Seperti yang telah
dikatakan oleh Sang Buddha bahwa mungkin sekali pembuat kejahatan menganggap kejahatan
sebagai kebaikan selama perbuatan itu belum berbuah, tetapi bilamana perbuatan
itu berbuah, maka ia akan menyadari dan menderita sebagai akibat dari
perbuatannya yang salah.
Pada kasus kasus yang lain terjadi bahwa
orang yang korupsi dengan mendapatkan keuntungan dan menyebabkan orang lain
menderita, pada akhirnya ia jatuh dan menderita. Tetapi kejatuhan dan
penderitaan yang dialaminya itu mungkin hanya bersifat aspek luaran atau aspek
jasmaniah, karena masih ada pula akibat yang lebih halus yang langsung berlaku
dan lebih lama pada aspek dalam atau batinnya. Dipandang dari sisi pandangan
pada aspek dalam atau aspek batin dari akibat karma, walaupun ada orang tak
jujur yang nampak bahagia dengan kekayaan yang diperoleh dengan cara yang
salah, namun hal ini bukan berarti ia selalu bahagia dalam batinnya. Sebagai
akibat dari ketidak jujurannya maka ia selalu menderita karena merasa bersalah.
Ia dapat menyembunyikan perbuatannya yang salah pada orang lain, tetapi secara
psikologis ia tak dapat menipu dirinya sendiri. Ia sendiri yang melakukan
karma, maka ia sendiri yang akan menerima akibatnya. Hal ini bagaikan makan,
bila ada seseorang yang lapar, ia sendiri harus mulai makan karena tidak ada
orang lain yang makan agar ia keyang. Jika makanan yang ia makan beracun, ia
sendiri yang akan menderita keracunan yang disebabkan oleh makanan.
Sebaliknya, orang bajik yang selalu melakukan
karma baik, cepat atau lambat ia akan menerima akibat dari perbuatannya.
Menurut pandangan Buddhis bila seorang yang bajik nampak menderita, hal ini
terjadi karena akibat dari perbuatan salah yang ia lakukan pada kehidupan yang
lampau. Sedangkan akibat perbuatan baiknya belum berbuah karena menunggu waktu
matang. Orang bajik ini dapat beranggapan bahwa perbuatan baik itu salah selama
perbuatan baiknya belum menghasilkan akibat, tetapi ia akan menyadari bahwa
perbuatan bajik yang telah ia lakukan adalah baik dan bermanfaat bila waktunya
berbuah telah tiba, sehingga ia dapat menikmati akibat yang menyenangkan.
Bagaimanapun, hal ini bukan berarti suatu hal
yang mudah untuk mengerti fungsi dari hukum karma, karena cara kerja hukum
karma agak tersembunyi. Tetapi hal ini masih mungkin kita dapat mengerti
sedikit cara kerjanya bila kita berusaha mempelajari kedua aspeknya dengan hati
hati, cermat dan sabar. Kita tidak akan pernah mengkambing hitamkan orang lain
bila kita gagal atau penderitaan terjadi ketika sedang dalam keadaan damai dan
menikmati kebahagiaan.
Seseorang yang memiliki keyakinan yang teguh
pada hukum karma akan selalu melakukan perubatan baik demi kebaikan tanpa
memperdulikan akibat dari perbuatannya, karena ia selalu yakin bahwa sebab baik
akan selalu berakibat baik. Melakukan perbuatan baik demi kebaikan merupakan
cara ideal dari ajaran hukum karma Buddhis.
C.
Ajaran Hukum Karma Menurut Kitab Suci
Tipitaka
1. Empat Macam Karma
Bagi umat Buddha Kitab Suci Tipitaka dianggap
sebagai sumber- sumber otoritas dari ajaran – ajaran Sang Buddha, Disamping
Kitab Suci Tipitaka terdapat :
a.
Atthakatha
b.
Tika
c.
Anutika
Tipitaka secara harfiah berarti Tiga
Keranjang atau kitab suci yang berisikan ajaran ajaran Sang Buddha dan beberapa
siswa senior Beliau. Atthakatha merupakan komentar dari Tipitaka; Tika
merupakan komentar dari Atthakatha; dan Anutika merupakan komentar atau
keterangan dari Tika.
Ajaran ajaran yang diuraikan dalam Atthakatha
dianggap nomor dua setelah otoritas Tipitaka; sedangkan Tika dan Anutika tidak
begitu penting.
Mengenai ajaran karma, uraian yang jelas
dapat ditemukan dalam Tipitaka. Dalam Kukkurovada Sutta dari Majjhima Nikaya,
Sang Buddha telah menguraikan ajaran karma kepada dua orang petapa yang datang
bertanya kepada Beliau. Uraian yang sama dapat juga ditemukan dalam
Catukkanipata dari Angutara Nikaya. Menurut dua sumber tersebut diatas, Sang
Buddha secara tegas telah menggolongkan karma atau perbuatan menjadi empat
macam dalam hubungan dengan sifat dan akibat – akibatnya :
Para bhikkhu, empat macam karma yang telah Ku
pahami dengan kebijaksanaan sendiri dan selanjutnya kuajarkan kepada dunia.
Apakah empat macam karma itu ? Empat macam karma itu adalah :
Karma hitam yang berakibat hitam; karma putih
yang berakibat putih; karma hitam dan putih yang berakibat hitam dan putih; dan
karma bukan hitam maupun putih yang berakibat bukan hitam maupun putih serta
membawa pengakhiran karma.
( Anguttara Nikaya, Catukkanipata 232 – 238 )
Penggolongan karma kedalam empat kategori
seperti yang tersebut diatas, dibuat berdasarkan atas sifat dan akibat
akibatnya : baik, buruk, baik dan buruk; atau bukan baik maupun buruk. Tetapi,
bila dilihat dari sudut saluran yang digunakan, karma dapat digolongkan menjadi
tiga macam yaitu perbuatan badan jasmani (kaya kamma), ucapan (vaci kamma) dan
pikiran (mano kamma). Setiap tiga perbuatan ini mencakup semua empat kategori
tersebut diatas, yaitu karma yang dilakukan melalui salah satu dari tiga
saluran itu adalah baik, buruk, baik dan buruk, atau bukan baik maupun buruk.
Mengenai karma hitam dari kategori pertama,
Sang Buddha menunjukkan pada setiap bentuk perbuatan jahat yang dilakukan melalui
badan jasmani, ucapan dan pikiran yang bertujuan menimbulkan kesukaran,
kesengsaraan atau kerugian pada makhluk lain. Perbuatan – perbuatan buruk
seperti membunuh atau menyiksa binatang – binatang, mencuri harta orang lain,
berzinah dan lain lain, adalah dianggap sebagai karma hitam atau buruk.
Menurut agama Buddha, kehidupan seseorang
semata mata ditentukan oleh karmanya sendiri. Apapun yang telah dilakukan
olehnya akan selalu tercermin dalam kehidupan pribadinya. Bilamana buah dari
perbuatan perbuatannya tidak datang kepadanya dalam hidup sekarang, pasti akan
mengunjunginya dalam kelahirannya yang akan datang. Seseorang yang terlelap
dalam karma hitam dengan melakukan perbuatan perbuatan membunuh, mencuri,
merugikan, atau memfitnah makhluk – makhluk lain pasti akan menerima akibat –
akibat gelap dari perbuatannya sendiri. Akibat hitam yang benar – benar
menyakitkan dari suatu perbuatan disebut akibat hitam, ini termasuk dalam
kategori karma yang pertama. Sang Buddha mengatakan bahwa orang itu setelah ia
meninggal dunia, ia akan terlahir dalam alam yang diliputi penderitaan bagaikan
makhluk yang terlahir di neraka.
Kategori karma yang kedua berlawanan dengan
kategori karma yang pertama. Itu adalah karma putih yang akan selalu
menghasilkan akibat putih. Sebagaimana telah dikatakan oleh Sang Buddha :
Ada orang di dunia ini melakukan karma
melalui jasmani, ucapan dan pikiran tanpa menyiksa makhluk – makhluk lain. Maka
setelah ia meninggal dunia, ia akan terlahir kembali ke alam tanpa mengalami
siksaan. Disana ia akan mengalami perasaan – perasaan (vedana) tanpa penyiksaan
yang seluruhnya hanya terdiri dari kebahagiaan seperti dewa – dewa Subhakinha.
Inilah yang Ku sebut karma putih yang mempunyai akibat putih.
(Kukkurovada Sutta, Majjhima Nikaya)
Karena itu, karma putih berarti perbuatan –
perbuatan baik (kusala kamma) yang dilakukan oleh seseorang melalui saluran
badan jasmani, ucapan dan pikiran. Menurut hukum karma, akibat selalu
ditentukan oleh sebabnya. Manifestasi karma terdiri dari kemiripan yang mendasar
antara perbuatan dan hasil sebab dan akibat : “ Seperti sebab, begitu pula
dengan akibat”. Bila seseorang menanam pohon mangga, maka pada suatu saat ia
akan memetik buah mangga sebagai hasilnya dan tak mungkin ia akan memetik buah
kelapa. Demikian pula perbuatan – perbuatan baik akan selalu menghasilkan buah
yang sesuai.
Sekarang kita akan meneliti kategori karma
ketiga : karma hitam dan putih. Karma jenis ini merupakan campuran dari
perbuatan – perbuatan baik dan buruk. Karma baik dapat diumpamakan seperti
minyak dan karma buruk seperti air, lalu bagaimana minyak dan air dapat
bercampur bersama. Bahwasanya dengan cara biasa minyak dan air tidak dapat
bercampur bersama namun, setiap orang pasti mengakui bahwa minyak dan air dapat
dimasukan ke dalam satu tempat yang sama. Disana mereka berada bersama sama,
walaupun minyak tetap mengambang diatas air. Dalam cara yang sama, karma hitam
dan putih dapat bersama sama, begitu pula dengan akibat – akibat hitam dan
putih. Menurut agama Buddha, bila perbuatan perbuatan baik dan buruk dilakukan
bersama sama, maka kebahagiaan dan penderitaan yang merupakan akibat dari
perbuatan perbuatan demikian juga akan muncul bersama. Disini kata “ bersama ”
berarti dalam satu masa kehidupan yang sama. Benar, bahwasanya penderitaan dan
kebahagiaan tidak dapat timbul pada saat yang sama sebagaimana tidak ada
kemungkinan bagi dua macam karma baik dan buruk, untuk menghasilkan akibat
akibatnya pada saat yang sama.
Dalam kenyataan, kebahagiaan timbul
menggantikan penderitaan dan penderitaan muncul menggantikan kebahagiaan. Ini
merupakan kenyataan dalam kehidupan manusia dimana kebahagiaan dan penderitaan
dialami secara silih berganti. Setiap orang melakukan perbuatan perbuatan baik
dan buruk melalui badan jasmani, ucapan dan pikiran dalam kehidupannnya sehari
hari dan dengan begitu setiap orang mengalami kebahagiaan dan penderitaan.
Seseorang yang telah melakukan karma campuran, pasti akan menerima akibat –
akibat campuran dalam hidup sekarang atau dalam kehidupan kehidupan berikutnya.
Inilah yang dikatakan oleh Sang Buddha sebagai karma hitam dan putih, yang
memberikan akibat hitam dan putih.
Penggolongan karma yang terakhir adalah karma
bukan hitam maupun putih yang memberikan akibat bukan hitam maupun putih.
Penggolongan ini menandai suatu perbedaan khusus antara ajaran karma dalam
agama Buddha dengan ajaran karma dalam sistem sistem pemikiran india lainnya.
Disini, karma bukan hitam maupun putih
berarti perbuatan yang tak dapat dinyatakan sebagai baik atau buruk pun
keduanya. Dalam hubungan dengan akibat, penderitaan adalah disebabkan oleh
karma gelap atau buruk; kebahagiaan disebabkan oleh karma terang atau baik. Dan
campuran penderitaan dan kebahagiaan disebabkan oleh karma hitam dan putih atau
karma buruk dan baik. Karma bukan hitam maupun putih tidak mengacu pada akibat
akibat demikian, tetapi pada keadaan di luar penderitaan dan kebahagiaan, pada
pemusnahan semua karma, pada Nibbana. Namun demikian, karma macam ini janganlah
dicampur adukan dengan suatu perbuatan dari orang yang telah bebas atau orang
yang telah mencapai tingkat kesucian tertinggi ( Arahat ). Perbuatan seorang
Arahat tidak lagi digolongkan sebagai karma tetapi kiriya karena kekotoran –
kekotoran batin ( kilesa ) yang melandasi perbuatan kehendak dari orang
demikian sudah dihancurkan secara total.
Dilihat dari sudut pandangan mutlak, hal itu
tidak dapat dinyatakan sebagai hitam atau putih ataupun kedua duanya, Tetapi
bila karma macam ini dilihat dari sudut pandangan relatif, dapatlah dianggap
sebagai macam karma baik karena tidak menghasilkan akibat akibat yang merugikan
atau menyakitkan. Disini harus diadakan pembedaan penafsiran secara jelas,
bahwasanya suatu perbuatan baik yang umum mengarah pada serangkaian kelahiran
kembali yang tak terbatas. Sedang kategori karma yang terakhir ini langsung
mengarah pada pengakhiran kelahiran kembali. Inilah dasarnya mengapa Sang
Buddha tidak memasukkan karma macam ini ke dalam karma kategori putih.
Mengenai karma bukan hitam maupun putih ini,
Sang Buddha menunjukan pada jalan utama berfaktor delapan, yang merupakan asas
asas praktek agama Buddha yang menuju ke pengakhiran penderitaan, ke Nibbana.
Kadang kadang Beliau menunjukkan Tujuh Faktor Penerangan Sempurna (Satta
Sambojjhanga) Yaitu Sati (penyadaran), Dhammavicaya (penyelidikan terhadap
Dhamma), Viriya (usaha, semangat), Piti (kegiuran), Passaddhi (ketenangan),
Samadhi (konsentrasi) dan Upekkha (keseimbangan batin).
Jalan utama berfaktor delapan atau Tujuh
Faktor Penerangan Sempurna, bila dikembangkan secara tepat dan sempurna, akan
langsung membawa pada kebebasan atau Nibbana, suatu keadaan di luar penderitaan
dan kebahagiaan. Karma hitam dan putih atau perbuatan perbuatan buruk dan baik
selalu akan membawa pada pembentukan karma baru yang tak terbatas. Apabila
suatu perbuatan baik dilakukan maka sejenis akibat baik akan muncul. Dengan
menikmati akibat yang menyenangkan maka keinginan (tanha) baru atau kemelekatan
(upadana) muncul dalam pikiran pelakunya, Dan karena keinginan atau
kemelekatan, ia dipaksa untuk berbuat lagi; karena ia berbuat maka timbulah
akibat dari perbuatannya; sewaktu menikmati atau menderita akibat, keinginan
baru muncul.
Menyatakannya dalam rumusan karma Buddhis :
karma membawa pada akibat (vipaka), akibat membawa pada keinginan (tanha),
keinginan membawa pada karma; karma membawa pada akibat. Rumusan ini akan terus
berulang dalam cara ini , kecuali kalau dan sampai rangkaian lingkaran belenggu
reaksi ini dihancurkan dengan memahami kebenaran mutlak, Empat Kebenaran Mulia.
Agama Buddha menyatakan bahwa pengembaraan
dalam samsara tak akan pernah berakhir selama keinginan yang merupakan akar
sebab dari ikatan tidak dimusnahkan. Lingkaran ini hanya dapat dihancurkan
dengan mengikuti jalan utama berfaktor delapan atau mengembangkan Tujuh Faktor
Penerangan Sempurna yang dikatakan sebagai karma bukan hitam maupun putih.
Karma ini akan mengarah pada perenungan Pandangan Terang (vipassana) yang
sebagai gantinya akan menghancurkan nafsu keinginan.
Bilamana semua nafsu keinginan telah
dihancurkan, maka kebebasan akan dicapai dan lingkaran kelahiran dan kematian
(samsara) dapat dipatahkan. Pemadaman penderitaan batin dapat dicapai dalam
kehidupan sekarang ini bila orang telah bebas, sedang penderitaan jasmani akan
berakhir setelah badan jasmani hancur. Namun, betapapun hebatnya penderitaan
jasmani tidak akan pernah mengalahkan batin orang yang telah mencapai
penerangan sempurna. Semua penderitaan akan berakhir setelah orang tersebut
mencapai kebebasan sempurna atau Parinibbana, suatu keadaan di luar kelahiran
dan kematian, diluar penderitaan dan kebahagiaan dalam pengertian duniawi, di
luar kemampuan akal dan cakupan bahasa, suatu keadaan berkah yang menjadikan
setiap usaha bagi pencapaian kebebasan mutlak menjadi berharga.
2. Karma Subur dan Karma Mandul
Dalam pengertian Buddhis tentang karma,
seperti yang telah kita sebutkan diatas, bahwasanya dalam dunia moral, tidak
setiap perbuatan dapat disebut karma. Hanya perbuatan yang berhubungan dengan
kehendak batin (cetana) yang disebut karma; atau kehendak batin itu sendiri
yang disebut karma, sebagaimana telah dinyatakan oleh Sang Buddha :
“O Bhikkhu, kehendak itulah yang Ku sebut
karma. Setelah timbul kehendak dalam batinnya, seseorang melakukan perbuatan
melalui jasmani, ucapan dan pikiran….”
( Anguttara Nikaya, III, 415 )
Hal ini menyatakan bahwa suatu perbuatan
tanpa kehendak atau kemauan, tidak dianggap sebagai karma dan perbuatan
demikian tidak akan memberikan pengaruh besar kepada pelakunya. Karena itu,
suatu perbuatan tanpa kehendak adalah karma mandul yang tidak dapat
menghasilkan buah.
Dalam kitab Anguttara Nikaya Sang Buddha
menyatakan enam kondisi sebab karma. Enam kondisi ini dapat dijadikan dua
kelompok : kotor ( duccarita ) dan bersih ( sucarita ) Dalam kelompok pertama :
kotor ( duccarita ) terdapatlah tiga kondisi yaitu :
a.
Lobha ( keserakahan )
b.
Dosa ( kebencian )
c.
Moha ( kebodohan )
Mengenai karma yang mempunyai salah satu dari
tiga kondisi ini sebagai sebab, Sang Buddha menyatakan :
O para bhikkhu, bilamana perbuatan –
perbuatan seseorang dilakukan karena keserakahan…, dilakukan karena kebencian…,
dilakukan karena kebodohan, timbul dari kebodohan, didasari oleh kebodohan,
berasal dari kebodohan, maka dimanapun ia akan dilahirkan, disanalah perbuatan
– perbuatannya menjadi masak; dan dimanapun mereka masak; disanalah ia akan
mengalami akibat dari perbuatan perbuatannya itu, apakah dalam hidup sekarang,
atau dalam beberapa kehidupan berikutnya.
(Anguttara Nikaya, Tikanipata 171)
Karma yang disebabkan oleh salah satu dari
kondisi kondisi ini dapat kita bandingkan dengan benih suatu tumbuhan yang
tidak terluka; tidak rusak, tidak terganggu oleh angin atau panas, subur dan
tersimpan baik, ditanam pada lahan subur yang telah digarap dengan baik;
kemudian bila hujan turun tepat pada musimnya, maka benih itu pasti akan tumbuh
subur dan berkembang dengan segala kemungkinannya. Karenanya, perbuatan atau
karma yang didasari oleh Lobha, dosa dan moha merupakan karma subur yang akan memberikan
hasil yang sepadan dengan pelakunya dalam hidup sekarang ini atau dalam
kehidupan selanjutnya. Karma dalam hubungan ini dapat bersifat baik atau buruk.
Sebagai contoh, seseorang dapat mengorbankan
uangnya untuk beramal dengan harapan akan memperoleh pujian dari orang lain
atau untuk memperoleh akibat akibat lain yang diharapkan. Tak perlu diragukan
lagi, perbuatan baiknya ini didasari oleh alobha (tanpa keserakahan), namun
keserakahan merupakan faktor pendorong dalam perbuatan amalnya. Sebaliknya dengan
lobha (keserakahan) sebagai sebab langsung ia dapat mencuri uang atau harta
orang lain. Sang Buddha menyatakan bahwa perbuatan yang didasari oleh kekotoran
kekotoran batin ini membawa pada suatu pembentukan karma subur baru yang tak
terbatas, bukan pada penghancuran karma. Atau dengan kata lain, karma tersebut
membawa pada pengembaraan dalam lingkaran kelahiran dan kematian (samsara) yang
tak ada batasnya.
Kelompok kedua : bersih (sucarita) terdiri
atas tiga kondisi :
a.
alobha (tanpa keserakahan)
b.
adosa (tanpa kebencian)
c.
amoha ( tanpa kebodohan )
Mengenai karma yang disebabkan oleh tiga
kondisi ini, Sang Buddha bersabda :
O para bhikkhu, bilamana perbuatan perbuatan seseorang dilakukan tanpa keserakahan… dilakukan tanpa kebencian… dilakukan tanpa kebodohan, tidak berasal dari kebodohan, karena kebodohan telah lenyap, maka perbuatan perbuatan tersebut ditinggalkan, dijadikan seperti tonggak pohon kelapa, dan menjadi mandul serta tidak dapat tumbuh lagi di masa yang akan datang.
O para bhikkhu, bilamana perbuatan perbuatan seseorang dilakukan tanpa keserakahan… dilakukan tanpa kebencian… dilakukan tanpa kebodohan, tidak berasal dari kebodohan, karena kebodohan telah lenyap, maka perbuatan perbuatan tersebut ditinggalkan, dijadikan seperti tonggak pohon kelapa, dan menjadi mandul serta tidak dapat tumbuh lagi di masa yang akan datang.
( Anguttara Nikaya, Tikanipata 172 )
Sang Buddha membandingkan perbuatan yang
dilakukan keserakahan, kebencian dan kebodohan seperti benih suatu tumbuhan
diluar, dibakar dan abunya dilemparkan ke arah pusaran angin kencang atau
dimasukkan ke dalam arus sungai yan deras. Dengan cara ini benih itu
ditinggalkan, dihancurkan dan tidak subur serta tidak dapat tumbuh lagi di masa
yang akan datang. Begitu juga perbuatan perbuatan yang didasari oleh alobha,
adosa dan amoha, dan bila lobha, dosa, moha telah dicabut seluruhnya, maka
perbuatan perbuatan tersebut menjadi mandul serta tidak dapat memberikan suatu
akibat pada pelakunya. Perbuatan perbuatan macam ini merupakan milik Arahat,
yang tidak lagi disebut karma, melainkan disebut kiriya.
Berikut ini adalah gambaran yang lain dari
keterangan Sang Buddha mengenai enam kondisi sebagai sebab-sebab karma :
Para bhikkhu, ada tiga sebab perbuatan.
Apakah tiga hal itu ? Tiga hal itu adalah : lobha (keserakahan), dosa (kebencian)
dan moha (kebodohan). Para bhikkhu, bilamana perbuatan seseorang dilakukan
dibawah pengaruh keserakahan, dibawah pengaruh kebencian… dibawah pengaruh
kebodohan, berasal dari kebodohan, maka perbuatan itu tidak bermanfaat (akusala),
tidak menguntungkan, mengakibatkan penderitaan, mendorong timbulnya perbuatan
perbuatan baru dan bukan untuk mengakhiri perbuatan perbuatan. Para bhikkhu,
ada tiga sebab perbuatan. Apakah tiga hal itu ? Tiga hal itu adalah : alobha
(tanpa keserakahan), adosa (tanpa kebencian), dan amoha (tanpa kebodohan)
Para bhikkhu bilamana perbuatan perbuatan seseorang
dilakukan dengan tanpa keserakahan (alobha)… dengan tanpa kebencian (adosa) …
dengan tanpa kebodohan (amoha), lahir dari amoha, disebabkan oleh amoha,
berasal dari amoha, maka perbuatan itu adalah bermanfaat (kusala),
mengakibatkan kebahagiaan, mengarah pada pengakhiran perbuatan selanjutnya dan
bukan mengarah pada timbulnya perbuatan perbuatan baru.
( Anguttara Nikaya, Tikanipata 388 – 339).
Karena itu, jelas bahwa masing masing
kelompok dari enam kondisi tersebut sama sama sebagai sebab karma, tetapi dalam
cara yang berbeda. Kelompok yang pertama : kotor, terdiri dari lobha, dosa dan
moha merupakan sebab karma yang akan memberi akibat (subur) dan mengarah pada
pembentukan karma baru yang tak terbatas atau pada pengembaraan dalam samsara
yang tak ada batasnya.
Kelompok kedua : suci, terdiri dari alobha,
adosa dan amoha merupakan kondisi karma yang tak memberi akibat (mandul) dan
mengarah pada pengakhiran karma atau pada kebebasan dari penderitaan. Enam
kondisi ini menunjukkan bahwa karma akan subur atau mandul tergantung pada
sifat batin pelaku perbuatan. Bila tiga kekotoran batin masih ada dalam batin
si pelaku, maka perbuatan perbuatannya akan selalu menghasilkan akibat akibat
yang sesuai dengan sebab sebabnya. Tetapi hal itu bukan sama sekali tak mungkin
bagi orang awam yang batinnya masih belum bebas sama sekali dari lobha, dosa
dan moha untuk melakukan perbuatan perbuatan yang mengarah pada pengakhiran
semua karma, pada pemahaman kebenaran mutlak. Perbuatan perbuatannya dapat juga
didasari oleh alobha, adosa dan amoha, namun karena ia masih belum bebas atau
karena keinginan keinginanya masih belum dihancurkan sama sekali, maka
perbuatan perbuatannya masih akan memberikan akibat – akibat tertentu
kepadanya.
Agama Buddha menyatakan bahwasanya hanya
perbuatan perbuatan seseorang yang telah bebas atau yang telah mencapai
penerangan sempurna (arahanta) saja yang benar benar mandul. Perbuatan
perbuatan orang demikian (yang telah bebas) tidak dapat digolongkan dibawah
kategori kategori baik atau buruk, karena kekotoran kekotoran batin (kilesa)
telah dihancurkan secara mutlak dari dalam batinnya. Perbuatan perbuatannya
akan netral dalam pengertian tidak akan memberikan akibat akibat padanya,
karena ia telah berada diluar keadaan yang dapat dipengaruhi oleh karma.
Seseorang yang telah bebas selalu melakukan perbuatan perbuatan dengan rasa
tidak terikat, yaitu dengan kebebasan dari lobha, dosa dan moha. Dan
ketidakterikatan itulah yang sesungguhnya menjadikan suatu karma mandul. Sedang
kemelekatan selalu menjadi karma subur.
3. Karma dalam hubungan dengan akibat
akibatnya
Karma dan akibat akibatnya berhubungan erat
seperti api dengan panasnya atau nilai membakarnya. Pengetahuan atau pengertian
tentang hukum karma tidak akan lengkap apabila tidak dipelajari dalam hubungan
dengan akibat akibatnya.
Dalam kitab suci Tipitaka terdapat suatu
pernyataan yang memperlihatkan keyakinan umat Buddha terhadap hukum karma,
pernyataan tersebut berbunyi :
“ Sesuai dengan benih yang telah ditabur,
begitulah buah yang akan dipetiknya. Ia yang berbuat baik akan menerima
kebaikan ; dan ia yang berbuat jahat akan menerima kejahatan”.
( Samyutta Nikaya I, 293 )
( Samyutta Nikaya I, 293 )
Ungkapan ini menyatakan bahwa apabila sebab
sebabnya baik, maka akibatnya juga akan baik. Sebaliknya apabila sebab sebabnya
buruk maka akibatnya juga akan buruk. Hal itu juga menunjukan sifat hubungan
sebab akibat. Uraian mengenai macam macam karma tertentu yang akan menghasilkan
akibat akibat tertentu diberikan dalam Culakammavibhanga Sutta dari kitab
Majjhima Nikaya.
Menurut Sutta tersebut, sewaktu Sang Buddha
sedang berdiam di vihara Anathapindika dekat kota Savatthi, datanglah seorang
pemuda Brahmana yang bernama Subha, yang bertanya kepada Sang Buddha mengenai
perbedaan kualitas manusia.
Yang Mulia Gotama, apakah yang menjadi
alasan, apa sebabnya diantara umat manusia yang terlahir sebagai manusia, ada
yang hina dan mulia ?
Wahai Gotama, mengapa ada umat manusia yang
berusia pendek dan ada yang berusia panjang, berpenyakit dan sehat, buruk dan
rupawan, tak berkuasa dan berkuasa, miskin dan kaya, lahir dalam keluarga
rendah dan lahir dalam keluarga bangsawan, bodoh dan pandai ; wahai Gotama
apakah alasannya, apa sebabnya maka diantara manusia ada yang terlahir hina dan
ada yang terlahir mulia ?
(Culakammavibhanga Sutta, Majjhima Nikaya)
Sang Buddha menjawab :
Wahai Brahmana muda, setiap makhluk adalah
pemilik karmanya sendiri, pewaris karmanya sendiri, lahir dari karmanya
sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri dan dilindungi oleh karmanya
sendiri. Karma yang menentukan makhluk – makhluk, menjadikan mereka hina dan
mulia.
( Culakammavibhanga Sutta, Majjhima Nikaya )
Sang Buddha menerangkan lebih lanjut bahwa
sebagian orang dalam dunia ini, apakah laki laki atau wanita, selalu membunuh
makhluk makhluk hidup, kejam dan haus darah, memiliki kebiasaan membunuh dan
suka membunuh, tak memiliki rasa kasih sayang terhadap makhluk makhluk hidup.
Orang tersebut dengan melakukan perbuatan perbuatan demikian, maka setelah
kematiannya, setelah tubuhnya hancur, ia akan terlahir kembali di alam celaka,
neraka. Atau apabila setelah kehancuran tubuhnya, setelah mati ia tidak
terlahir kembali di alam celaka, neraka, tetapi terlahir kembali sebagai
manusia, maka ia akan berumur pendek. Inilah alasan, sebab yang memberikan
akibat umur pendek pada manusia.
Sebaliknya Sang Buddha menunjukan bahwa
sebagian orang di dunia ini menahan diri dari pembunuhan, menahan diri secara
total dari pembunuhan pembunuhan makhluk hidup, penuh perasaan persahabatan dan
belas kasihan, mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang terhadap semua
makhluk hidup. Orang tersebut, dengan melakukan perbuatan perbuatan demikian,
setelah kehancuran tubuhnya, setelah mati, maka ia akan terlahir kembali dalam
alam bahagia, ke surga. Atau apabila setelah kehancuran tubuhnya, setelah mati,
ia tidak terlahir kembali dalam alam bahagia, ke surga, tetapi terlahir kembali
sebagai manusia, maka dimanapun ia dilahirkan kembali, dia akan berumur
panjang. Inilah alasan sebab yang memberikan akibat umur panjang pada manusia.
Selanjutnya Sang Buddha menerangkan bahwa
perbuatannya kejam, seperti melukai atau menyiksa makhluk makhluk hidup
berakibat dengan hidup berpenyakitan, sedang perbuatan perbuatan yang tidak
kejam terhadap makhluk makhluk hidup berakibat dengan hidup sehat. Kemarahan merupakan
sebab bagi bentuk badan yang jelek dan kesabaran merupakan sebab bagi bentuk
badan yang indah. Iri hati mengakibatkan tidak memiliki kekuasaan dan sifat
simpati yang bergembira melihat keberhasilan orang lain mengakibatkan memiliki
kekuasaan .
Sifat kikir merupakan sebab bagi kemiskinan
dan sifat murah hati merupakan sebab bagi hidup kaya. Kesombongan merupakan
sebab bagi kelahiran dalam keluarga rendah dan miskin atau berada dalam
kedudukan sosial yang rendah, sedang kerendahan hati berakibat dengan kelahiran
dalam keluarga berpangkat (bangsawan) dan kaya, atau berada dalam kedudukan
sosial yang tinggi.
Malas untuk memperoleh pengetahuan merupakan
sebab kebodohan, sedang semangat untuk memperoleh pengetahuan baru merupakan
sebab bagi kebijaksanaan atau kecerdasan intelek.
Culakammavibhanga Sutta memberikan pandangan
yang jelas mengenai macam karma tertentu yang menghasilkan akibat tertentu.
Dalam beberapa hal tidaklah sukar untuk menghubungkan antara satu sebab
tertentu dengan akibat tertentu secara masuk akal. Contohnya : mengenai
kemarahan. Biasanya bilamana seseorang marah misalnya kemarahannya akan
terungkap pada wajahnya dan melalui matanya. Setiap orang yang kebetulan berada
di dekatnya dapat memperhatikan dengan mudah perubahan suasana hatinya melalui
ungkapan yang tak wajar pada wajahnya. Mungkin orang itu sendiri akan merasa
takut melihat wajahnya yang jelek bila ia kebetulan melihat ke dalam cermin dan
memperhatikannya sewaktu ia sedang marah.
Gambaran yang lain mengenai karma tertentu
yang menghasilkan akibat tertentu dapat ditemukan dalam kitab Anguttara Nikaya
Catukkanipata 275 – 279. Dalam sumber tersebut dikatakan bahwa pada suatu hari
permaisuri raja Pasenadi Kosala yang bernama Mallika Devi mengunjungi Sang
Buddha dan bertanya mengenai kualitas kualitas wanita. Berikut inilah
pertanyaan pertanyaan yang diajukan olehnya :
1.
Apakah alasannya, apakah sebabnya, mengapa seorang
wanita memiliki wajah buruk, bentuk tubuh yang jelek, menakutkan untuk dilihat
dan ia juga miskin, melarat, papa dan memiliki kedudukan sosial yang rendah ?
2.
Apakah alasannya, apakah sebabnya, mengapa seorang
wanita memiliki wajah buruk, bentuk tubuh yang jelek dan menakutkan untuk
dilihat, namun ia kaya, berharta, berkelebihan dan memiliki kedudukan sosial
yang tinggi ?
3.
Apakah alasannya, apakah sebabnya, mengapa seorang
wanita memiliki wajah cantik, menarik, menyenangkan serta memiliki kecantikan
yang luar biasa tetapi ia miskin, melarat, papa dan memiliki kedudukan sosial
yang rendah ?
4.
Apakah alasannya, apakah sebabnya, mengapa seorang
wanita itu cantik, menarik, menyenangkan dan memiliki kecantikan yang luar
biasa, namun ia juga kaya, berharta, berkecukupan dan memiliki kedudukan sosial
yang tinggi ?
Menjawab pertanyaan yang pertama Sang Buddha
menerangkan kepada Mallika bahwa sebagian wanita memiliki sifat pemberang dan
bengis, atas setiap hal yang sedikit menentangnya ia merasa dendam, marah,
berang dan mendongkol, serta memperhatikan kemarahan dan kebencian; ia juga tak
mau memberikan dana kepada para petapa dan brahmana berupa makanan, minuman dan
lain sebagainya, serta merasa iri atas keberuntungan, kehormatan, penghargaan
yang diperoleh orang lain. Wanita tersebut, bilamana ia meninggal dunia dan
lahir dalam kehidupan sekarang, dimanapun ia dilahirkan, maka ia akan memiliki
wajah buruk, bentuk tubuh jelek dan menakutkan untuk dilihat, dan juga miskin,
melarat, papa serta berada dalam kedudukan sosial yang rendah.
Menjawab pertanyaan yang kedua, secara
singkat Sang Buddha menerangkan bahwa sifat pemberang, kemarahan dan kebencian
dari kehidupan yang lampau merupakan sebab bagi wajah yang buruk, bentuk tubuh
jelek dan perwujudan yang menakutkan dari seorang wainta dalam kehidupan
sekarang. Tetapi karena dalam kehidupannya yang lampau ia memiliki sifat murah
hati dan tidak merasa iri atas keberuntungan atau kebahagiaan orang lain, maka
dalam kehidupannya yang sekarang ia menjadi kaya, berharta, berkelebihan dan
berada dalam kedudukan sosial yang tinggi.
Menjawab pertanyaan yang ketiga, bila dalam
kehidupannya yang lampau seorang wanita tidak bersifat pemberang, dan sekalipun
dihina ia tak merasa dendam, marah, berang serta tidak memperlihatkan kemarahan
ataupun kebencian, maka setelah meninggalkan kehidupannya yang lampau, ia dalam
kehidupannya yang sekarang akan memiliki wajah yang cantik, menarik,
menyenangkan serta memiliki kecantikan yang luar biasa. Tetapi karena ia
memiliki sifat kikir dan merasa iri melihat keuntungan dan kebahagiaan orang
lain, maka sekarang ia hidup dalam kemiskinan, kemelaratan, papa serta berada
dalam kedudukan sosial yang rendah.
Jawaban terhadap pertanyaan yang keempat,
bilamana dalam kehidupan yang lampau seorang wanita tidak bersifat pemberang,
atau tidak pernah menunjukan kemarahan, kebencian sekalipun ia dihina, juga
bilamana ia memiliki sifat murah hati dan tidak merasa iri hati atas keuntungan
ataupun kebahagiaan orang lain maka setelah meninggalkan kehidupannya yang
lampau dan lahir kembali dalam kehidupan sekarang, dimanapun ia dilahirkan, ia
akan memiliki wajah cantik, menarik menyenangkan dan memiliki kecantikan yang
luar biasa, juga ia akan kaya, berharta dan berkelebihan serta berada dalam
kedudukan sosial yang tinggi.
Culakammavibhanga dan cerita tentang
permaisuri Malikka seperti yang terdapat dalam kitab Anguttara Nikaya, dalam satu
hal, berfungsi sebagai suatu gambaran yang terbaik mengenai ciri khas tentang
ajaran karma Buddhis, dan dalam hal ini, berfungsi sebagai suatu keterangan
yang jelas mengenai hubungan karma dan akibat akibatnya yang tertentu. Sumber
sumber diatas menyingkap tabir kemisteriusan persoalan – persoalan yang
berkenaan dengan perbedaan perbedaan umat manusia. Sebab sebab dan akibat
akibat diatas dapatlah disederhanakan dalam bentuk sebagai berikut :
1.
Membunuh makhkuk makhluk hidup mengakibatkan umur
pendek.
2.
Sifat cinta kasih terhadap makhluk makhluk hidup
mengakibatkan umur panjang.
3.
Menyiksa makhluk makhluk hidup mengakibatkan hidup
berpenyakitan.
4.
Sifat kasih sayang terhadap makhluk makhluk hidup
mengakibatkan hidup sehat.
5.
Sifat pemberang, marah atau kebencian mengakibatkan
wajah buruk dan bentuk tubuh jelek.
6.
Sifat yang tidak pemberang, tidak pemarah dan tidak
membenci mengakibatkan wajah cantik, menarik dan menyenangkan.
7.
Iri hati mengakibatkan tidak memiliki kekuasaan.
8.
Kegembiraan yang bersimpati melihat keberuntungan
makhluk lain mengakibatkan memiliki kekuasaan.
9.
Sifat kikir atau mementingkan diri sendiri
mengakibatkan kemisikinan.
10. Sifat
murah hati mengakibatkan kekayaan.
11. Kesombongan
mengakibatkan kelahiran dalam keluarga rendah atau memiliki kedudukan sosial
yang rendah.
12. Kerendahan
hati atau kelemah lembutan mengakibatkan kelahiran dalam keluarga tinggi atau
memiliki kedudukan sosial yang tinggi.
13. Kemalasan
untuk memperoleh pengetahuan baru mengakibatkan kebodohan.
14. Semangat
untuk memperoleh pengetahuan baru mengakibatkan kecerdasan atau kebijaksanaan.
Uraian uraian diatas memberikan jawaban
mengenai kemisteriusan persoalan perbedaan perbedaan dalam dunia manusia sejauh
kemampuan akal budi kita dapat memahaminya. Tetapi seperti telah dikatakan
diatas proses karma amat komplikasi dan misterius, sehingga tak mungkin bagi
kita untuk dapat memahami keseluruhan aspek prosesnya. Masih ada beberapa hal
yang memerlukan pertimbangan lebih jauh.
Agama Buddha menyatakan bahwa karma buruk
yang sama dapat menghasilkan akibat yang berbeda pada dua orang pelaku yang
berbeda. Ini tergantung pada kualitas batin masing masing yang mensyarati
kekuatan dan kesuburan karma dalam memberikan akibatnya. Pandangan ini telah
diuraikan dengan jelas dalam kitab Anguttara Nikaya Tikanipata 120 – 324.
Menurut sumber ini , Sang Buddha menerangkan
kepada para siswanya bahwasanya adalah mungkin bagi sebagian orang yang
melakukan kejahatan ringan untuk dilahirkan kembali di neraka, sedangkan
sebagian orang lain yang melakukan perbuatan yang sama tidak akan terlahir
kembali di neraka, melainkan hanya akan memetik buahnya dalam kehidupan
sekarang.
Mengenai perbedaan ini, Sang Buddha
menerangkan :
“Orang macam apakah O para bhikkhu, yang
hanya dengan melakukan kejahatan ringan akan berakibat menyeretnya ke neraka ?
O para bhikkhu, bilamana seseorang tidak terlatih silanya, tidak terlatih
konsentrasinya, tidak terlatih kebijaksanaannya, rendah dan terbatas
kemampuannya dalam hal kebajikan, maka sekalipun ia hanya melakukan kejahatan
ringan, maka perbuatan tersebut akan dapat menyeretnya ke neraka”
( Anguttara Nikaya Tikanipata 321).
Selanjutnya Sang Buddha menyatakan bahwa,
sebaliknya bilamana seseorang terlatih sila, konsentrasi, dan kebijaksanaannya,
tidak terbatas kemampuannya dalam hal kebajikan serta memiliki cinta kasih dan
kasih sayang terhadap semua makhluk, dan ia telah melakukan suatu kejahatan
ringan yang serupa, maka perbuatan itu akan habis, itu akan habis dalam hidup
sekarang dan bilamana karmanya menghasilkan akibat, ia tidak akan begitu
terpengaruh olehnya.
Hal ini menunjukan bahwasanya kualitas
kualitas kebajikan seseorang ikut menentukan berbuahnya karma buruk. Jika
Seseorang yang melakukan kejahatan ringan tidak memiliki simpanan kebajikan
dalam dirinya, maka karma buruknya akan mempunyai kekuatan yang cukup untuk
menyeretnya ke neraka. Tetapi jika orang lain yang memiliki banyak simpanan
kebajikan dalam dirinya melakukan kejahatan yang serupa, maka kekuatan dan
kesuburan suatu peruatan jahat demikian untuk menghasilkan akibatnya akan
dilemahkan, yaitu kekuatannya hanya cukup untuk menghasilkan akibat dalam hidup
sekarang dan kehabisan tenaganya, tidak cukup kuat untuk menyeret pelakunya
terlahir kembali ke neraka.
Mengenai perbedaan akibat karma macam ini,
Sang Buddha telah mempergunakan perumpamaan garam dan air untuk memperjelas
uraiannya. Dalam kasus yang pertama Sang Buddha membandingkan seseorang yang
tidak atau hanya memiliki sedikit simpanan kebajikan yang melakukan suatu
kejahatan ringan dengan seseorang yang memasukan segumpal garam kedalam satu
cangkir kecil yang berisi air, dengan berbuat demikian air dalam cangkir kecil
itu pasti menjadi asin dan tak dapat diminum. Ini karena air dalam cangkir itu
hanya sedikit kasus yang kedua, seseorang yang memiliki banyak simpanan kebajikan
dalam dirinya yang juga melakukan suatu kejahatan ringan yang serupa,
dibandingkan dengan seseorang yang memasukan segumpal garam ke dalam sungai
gangga, yang tentu saja tidak akan menjadi asin dan airnya dapat diminum.
Seseorang yang tidak atau hanya memiliki sedikit simpanan kebajikan serupa dengan seseorang yang memasukan garam ke dalam cangkir kecil berisi air, sekalipun ia hanya melakukan suatu kejahatan ringan, namun perbuatan tersebut cukup kuat untuk menyeretnya ke neraka. Seseorang yang memiliki banyak simpanan kebajikan adalah serupa dengan seseorang yang memasukan garam ke dalam sungai, bila ia melakukan kejahatan ringan yang serupa maka simpanan kebajikannya akan memperlemah kekuatan karma buruknya, seperti banyaknya air sungai yang akan menetralkan rasa asin gumpalan garam. Dalam contoh ini karma buruk adalah seperti garam dan simpanan kebajikan adalah seperti air.
Seseorang yang tidak atau hanya memiliki sedikit simpanan kebajikan serupa dengan seseorang yang memasukan garam ke dalam cangkir kecil berisi air, sekalipun ia hanya melakukan suatu kejahatan ringan, namun perbuatan tersebut cukup kuat untuk menyeretnya ke neraka. Seseorang yang memiliki banyak simpanan kebajikan adalah serupa dengan seseorang yang memasukan garam ke dalam sungai, bila ia melakukan kejahatan ringan yang serupa maka simpanan kebajikannya akan memperlemah kekuatan karma buruknya, seperti banyaknya air sungai yang akan menetralkan rasa asin gumpalan garam. Dalam contoh ini karma buruk adalah seperti garam dan simpanan kebajikan adalah seperti air.
Walaupun akibat karma buruk tidak dapat
dihilangkan sama sekali, itu tidak berarti bahwa kita harus bersikap pasrah.
Karma buruk dapat dilawan dengan memperbanyak berbuat kebajikan. Intensitas dan
kekuatan yang menghancurkan dari karma buruk hanya dapat dilawan dengan karma
baik seperti halnya air yang dapat mengurangi asinnya garam. Karena itu
seseorang tidak akan pernah terlambat untuk berbuat baik dalam hidupnya.
Pembagian Karma
Setelah kita mempelajari uraian diatas, kita
melihat bahwa karma digolongkan menjadi tiga dan empat macam menurut cara
menelitinya. Dilihat dari saluran yang digunakan, karma di golongkan menjadi
tiga macam sedangkan dilihat dari sifat dan akibatnya karma dibagi dalam empat
kategori. Disamping itu ada pula pembagian karma yang disusun oleh Buddhaghosa
dalam Visuddhimagga. Pembagian karma oleh Buddhaghosa ini didasarkan pada kata
kata Sang Buddha yang tersebar dalam Kitab Suci Tipitaka.
D.
Penggolongan Hukum Karma
Pembagian karma yang disusun oleh Buddhaghosa
adalah sebagai berikut :
1. Karma menurut waktu
2. Karma menurut kekuatan
3. Karma menurut fungsi
Masing masing golongan ini terdiri dari empat
macam, dan bila disatukan seluruhnya ada dua belas macam. Kadang kadang
semuanya disebut dua belas karma. Kedua belas karma ini dapat bersifat baik (
kusala ) atau buruk ( akusala ).
1.
Karma Menurut Waktu
Disini karma dihubungkan dengan unsur waktu
dalam menghasilkan akibatnya yang terdiri atas empat macam yaitu :
a.
Ditthadhammavedaniya
Kamma adalah karma yang memberikan akibatnya
pada masa kehidupan sekarang ini juga, apakah karena kekuatannya yang amat
besar atau memang karena sudah sampai saatnya untuk masak dalam kehidupan
sekarang.
Menurut Visuddhimagga, apabila karma ini
tidak menghasilkan akibatnya dalam kehidupan sekarang, maka karma ini menjadi
tak efektif ( ahosi , lihat Visuddhimagga halaman 697 ) Ven Vajirananavarorasa
dalam bukunya Dhammavibhanga jilid II menerangkan : karma ini tergolong amat
kuat dan karena menghasilkan akibatnya dalam kehidupan sekarang. Pelakunya akan
mengalami akibatnya dalam kehidupan sekarang ini juga, tetapi apabila pelakunya
mati sebelum menghasilkan akibatnya maka karma ini menjadi tidak efektif (
Dhammavibhanga jilid II hal 129 )
b.
Uppajjavedaniya
Kamma adalah karma yang akibatnya akan
dialami dalam kehidupan setelah hidup sekarang ini, karma ini menggantikan
karma “ sekarang “ sejak saat kematian seseorang dan terus menghasilkan
akibatnya dalam kehidupan yang baru selam tak ada intervensi dari karma lain
yang lebih kuat. Menurut Visuddimagga, bila dalam kehidupan berikutnya setelah
kehidupan sekarang karma ini tak memperoleh kesempatan untuk menghasilkan
akibatnya, maka karma itu akan menjadi mubazir ( Visuddimagga halaman 697 )
c.
Aparapara vedaniya
Kamma adalah karma yang akibatnya akan
dialami dalam kehidupan kehidupan berikutnya. Karma macam ini agak menyerupai
karma macam kedua dan paling cepat hanya akan menghasilkan akibat dalam masa
kehidupan itu. Namun karma macam ini dikatakan tak akan pernah berakhir dan
terus mengejar pelakunya tanpa mengenal lelah, tak akan pernah berhenti
melakukan pengejarannya sampai sang korban menjadi lelah. Karma macam ini dapat
diumpamakan seperti srigala yang selalu membayangi rusa, dan menggigit
korbannya kapan dan dimanapun ada kesempatan.
d.
Ahosi
Kamma adalah karma yang tidak memberi akibat
karena jangka waktunya untuk memberikan akibat telah habis atau karena karma
tersebut telah menghasilkan akibatnya secara penuh sehingga kekuatannya habis
sendiri. Karma macam ini dapat dibandingkan dengan sebuah benih yang telah
tersimpan sedemikian lama sehingga kemampuanya untuk berbuah menjadi rusak.
2.
Karma Menurut Kekuatan
Di sini karma dihubungkan dengan tingkat
kekuatannya dalam menghasilkan akibat yang terdiri atas empat macam yaitu :
a.
Garu
Kamma adalah karma yang paling berat diantara
semua karma lainnya dan karena sifatnya yang amat kuat, karma macam ini akan
masak terlebih dahulu. Selama karma ini masih menghasilkan akibatnya, tak ada
karma lainnya yang berkesempatan untuk menghasilkan akibatnya. Sebagai suatu
perbandingan dapatlah kita umpamakan dengan seorang yang menjatuhkan berbagai
macam benda dari suatu tempat yang tinggi. Maka batu yang dijatuhkan akan
sampai ke tanah terlebih dahulu, baru kemudian diikuti dengan sepotong kayu,
karton dan akhirnya bulu ayam.
Pada seginya yang buruk ( akusala ), garu
kammamenyatakan pada lima macam kejahatan yang mematikan yaitu :
1)
membunuh ibu,
2)
membunuh ayah,
3)
membunuh orang yang telah mencapai kesucian sempurna,
4)
Melukai tubuh seorang Buddha,
5)
menyebabkan perpecahan dalam tubuh persaudaraan para
bhikku ( sangha ).
Kelima macam perbuatan ini dianggap sebagai
karma yang paling buruk diantara semua karma lainnya. Seseorang yang telah
melakukan salah satu diantara kelima macam perbuatan diatas, maka dalam
hidupnya yang sekarang ia tidak dapat memahami kebenaran mutlak, karena ia
sendirilah yang telah menciptakan rintangan bagi pencapaiannya. Setelah tubuhnya
hancur, setelah kematiannya maka ia akan terlahir kembali dalam alam neraka
yang paling mengerikan. Pada seginya yang baik ( kusala ), garu kamma
menyatakan pada delapan macam pencapaian tingkat samadhi : empat tingkat rupa
jhana dan empat tingkat arupa jhana.
b.
Bahula
Kamma adalah karma yang sering dan terulang
ulang dilakukan oleh seseorang melalui saluran badan jasmani, ucapan dan
pikiran, sehingga tertimbun dalam wataknya.
Karma kebiasaan ini akan memberikan akibatnya terlebih dahulu apabila seseorang tidak melakukan garu – kamma.
Karma kebiasaan ini akan memberikan akibatnya terlebih dahulu apabila seseorang tidak melakukan garu – kamma.
c.
Asanna
Kamma adalah karma yang diperbuat oleh
seseorang pada saat menjelang kematian atau dapat pula berupa perbuatan
perbuatan yang dahulu pernah dilakukan dalam masa hidupnya yang ia ingat
kembali dengan amat jelas pada saat ia berada di ambang pintu kematian.
Namun sesungguhnya karma macam ini amatlah
ditentukan oleh sifat dari kebiasaan seseorang. Bila seseorang telah terbiasa
berbuat jahat untuk waktu yang lama, maka ia hanya sedikit sekali
kemungkinannya untuk mempunyai Assana – kamma yang baik. Sebaliknya seseorang
yang telah terbiasa berbuat bajik sepanjang masa hidupnya, maka juga sedikit
sekali kemungkinannya untuk memiliki Assana kamma yang jelek. Menurut agama
Buddha karma ini amat menentukan macam kelahiran mendatang dari orang yang
sedang berada diambang pintu kematian, yaitu apakah ia akan dilahirkan kembali
dalam alam sengsara atau alam bahagia tergantung pada karma ini.
Misalnya : suatu contoh yang sebenarnya
jarang terjadi , seseorang yang biasa berbuat jahat dan pada saat kematiannya
ia teringat akan beberapa perbuatan baiknya yang pernah ia lakukan, kemudian ia
mati dengan pikiran yang berdiam pada ingatan akan perbuatan baiknya, maka ia
akan terlahir kembali dalam alam bahagia karena kekuatan assana kammanya itu.
Namun demikian ia tak dapat menikmatinya lama, dan segera akan disusul dengan
akibat akibat buruk dari perbuatan perbuatan jahatnya yang telah ia lakukan
sepanjang masa hidupnya yang lampau. Berkenaan dengan hukum karma macam ini,
Sang Buddha telah mengumpamakan dengan sekumpulan sapi yang berada di sebuah
kandang tertutup. Sapi yang berada diambang pintu yang akan keluar terlebih
dahulu apabila pintunya dibuka, betapapun tua dan lemahnya sapi itu. Namun tak
lama kemudian sapi sapi yang kuat akan dapat menyusul dan meninggalkannya di
belakang.
d.
Kattata
Kamma adalah suatu perbuatan yang hampir
tidak didorong oleh kehendak. Karma ini sebenarnya lebih bersifat mekanis
daripada bersifat kehendak. Karenanya karma macam ini digolongkan sebagai karma
yang paling lemah diantara semua karma yang lainnya dan akan memberikan akibat
apabila karma lainnya tak ada.
Sebagai contoh mengenai kattata kamma :
Seorang petani misalnya melemparkan batu ke arah sekumpulan burung yang memakan
padinya, tujuannya hanyalah untuk mengusir burung burung itu, dan bukan untuk
membunuhnya. Namun secara kebetulan batu itu mengenai kepala seekor ayam yang
berada di sekitar tempat itu sehingga akibatnya ayam tersebut mati. Dalam hal
ini karma petani itu digolongkan sebagai kattata kamma. Dalam kasus kasus
semacam ini, karma tidak dapat dinilai semata mata hanya berdasarkan atas
ukuran akibat akibatnya saja, tetapi motif atau kehendak yang berada di
belakang perbuatan itu juga harus dipertimbangkan karenanya kattata kamma hanya
memiliki kemampuan yang amat kecil dalam menghasilkan akibatnya karena tidak
adanya kehendak atau itikad sebagai kekuatan pendorong.
3.
Karma Menurut Fungsi
Disini karma dihubungkan dengan peranannya
dalam menghasilkan akibat yang juga terdiri atas empat macam yaitu :
a.
Janaka
Kamma ( karma penghasil ) adalah karma yang
berfungsi menghasilkan. Tugas karma ini adalah menyebabkan kelahiran sesuai
dengan macam dan sifatnya. Karma macam ini dapat dibandingkan dengan seorang
ayah – ibu dalam fungsinya membawa seorang dalam kelahiran baru.
Menurut agama Buddha, apabila Janaka kamma
telah menyebabkan suatu kelahiran, maka tugasnya sebagai karma penghasil
berakhir. Dengan memahami janaka kamma berarti kita juga dapat memahami adanya
perbedaan perbedaan dalam dunia manusia yang tidak lain disebabkan oleh janaka
kamma.
b.
Upatthambhaka
Kamma ( karma Penguat ) adalah karma yang
berfungsi membantu memperkuat apa yang telah dihasilkan oleh janaka kamma
sesuai dengan macam dan sifatnya. Jadi apabila janaka kammanya baik, kamma
penguat ini membantu sehingga keadaannya lebih baik, demikian pula sebaliknya.
Misalnya : Seseorang yang memiliki janaka
kamma yang baik sehingga ia dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang baik,
maka kamma penguat akan membantu kesempatan tersebut menjadi lebih baik, dengan
memberikan kesempatan pada orang tersebut memiliki kondisi kondisinya yang
lebih baik dan akibatnya ia akan berhasil dalam kehidupannya yang sekarang.
Sebaliknya seseorang yang memiliki janaka kamma buruk sehingga ia dilahirkan di
tengah tengah keluarga yang berantakan dan dalam lingkungan hidup yang tidak
baik, maka kamma penguat ini akan membantu menguatkan keadaan tersebut dan
akibatnya ia dapat berbuat kejahatan kejahatan yang lebih berat, atau ia tak
mau belajar untuk meningkatkan dirinya. Dan akhirnya ia harus menderita dalam
kehidupan yang sekarang.
Dalam kedua kasus ini yang pertama disebut :
“ Datang Terang Pergi Terang” ( Joti Jotiparayano ) sedangkan yang kedua
disebut “ Datang Gelap Pergi Gelap “ ( Tamo Tamoparayano ).
c.
Uppapilika
Kamma ( Karma Pelemah ) adalah karma yang
berfungsi menandingi pengaruh dari apa yang telah dihasilkan oleh janaka kamma,
memperlemah kekuatannya atau mempersingkat waktunya dalam menghasilkan
akibatnya. Apabila janaka kamma menjadikan seseorang memiliki suatu kelahiran
yang baik, karma pelemah ini akan mengurangi kesempatan yang dimiliki dalam
suatu kelahiran, demikian pula sebaliknya.
Dalam kedua kasus ini yang pertama disebut :
“ Datang Terang Pergi Gelap” ( Joti Tamaparayano ) sedangkan yang kedua disebut
“ Datang Gelap Pergi Terang “ ( Tamo Jotiparayano )
d.
Upaghataka
Kamma ( Karma Penghancur ) adalah karma yang
mempunyai kategori sama dengan karma pelemah diatas, karena fungsinya menentang
atau menghancurkan kekuatan dari janaka kamma. Akan tetapi karma ini mempunyai
kekuatan yang lebih besar daripada karma pelemah.
Contohnya : Seorang gadis jelata yang menjadi
istri seorang raja, atau seorang anak dari keluarga miskin yang diangkat anak
menjadi anak keluarga kaya atau juga seorang kaya yang akhirnya menjadi
pengemis dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Pengertian hukum karma adalah segala
sesuatu sebab yang merupakan perbuatan ( karma ) atau menimbulkan buah atau akibat
yang merupakan perbuatan ( karma ) pula.
2.
Hukum karma berlaku terhadap semua
orang, pengaruh karma yang menentukan watak yang corak serta nilai dari watak
manusia. Karma yang baik menciptakan watak yang baik, demikian pula sebaliknya,
karma yang buruk memberikan watak yang buruk pula. Segala macam karma yang
dilakukan oleh mahluk terutama manusia akan tercatat selalu dalam pikirannya
yang kemudian menjadi watak dan berpengaruh pula. Hukum karma yang mempengaruhi
seseorang akan diterima olehnya sendiri tetapi juga di warisi oleh keturunannya
kelak.
B.
Saran
Dengan adanya hukum Karma ini akan
memberi keyakinan kepada umat manusia untuk mengerahkan segala tindak lakunya
selalu berdasarkan etika dan cara-cara yang baik untuk mancapai cita-cita yang
baik dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar